CORONA SEJUTA CERITA



Malam demi malam berlalu begitu mencekam. Raungan sirine ambulan semakin kerap terdengar nggegirisi. Toa-toa masjid seperti makin hobi mengabarkan berita lelayu. Ya, 2020-2021 dunia serasa neraka saat itu. Percaya atau tidak tapi yang jelas statistik berbicara. Setidaknya angka kematian di desa saya naik 3 kali lipat pada masa-masa itu. Desa sebelah justru lebih parah, grafik kematian warganya menjulang tinggi naik 5 kali lipat dibandingkan dengan kondisi normal. Kegilaan corona seolah-olah mustahil untuk dibendung. Pemerintah lengkap dengan segala sumber daya yang dimiliki berpacu dengan waktu berusaha untuk menjinakkannya.

Malam itu sekitar pukul 22.00 WIB terbangun dari lelapnya tidur. Ya, saya dan anak-anak memang sering glimbang glimbung, kruntelan dan bercanda dengan mereka saat sore habis magrib hingga tak jarang akhirnya terlelap dan baru sholat isya' dini hari (jangan salah, khusus sholat isya' juga ada dasarnya lho ya yang konon lebih afdhol dijalankan sedikit di akhir waktu, hehe). Seperti biasa ritual wajib yang harus dijalankan saat bangun tidur adalah grayah-grayah HP. Terpampang beberapa panggilan suara tak terjawab melalui aplikasi whatsapp (WA) di layar ponsel. Dua di antaranya panggilan dari Mbah Lurah. Sepertinya ada hal yang penting yang ingin disampaikan, sehingga saya lakukan panggilan balik ke beliau. Singkat cerita beliau mengabari bahwa ada warga yang meninggal di rumah sakit dan hasil test PCR-nya menyatakan positif covid-19. Sebenarnya bisa saja mengabaikan panggilan itu dan hawat-hawat tidak tahu namun rasa tanggung jawab membuat saya melompat dari tempat tidur, cuci muka, ambil masker dan langsung meluncur ke Balai Desa tempat dimana beberapa personil satgas sudah berkumpul.

Sampai di balai desa berbincang sebentar dengan tim. Jenazah masih berada di rumah sakit dan baru akan diberangkatkan ke lokasi pemakaman setelah liang lahatnya siap. Ndilalah pemakaman yang akan jadi lokasi peristirahatan terakhir si jenazah ini memang memiliki jenis tanah berkerikil yang cenderung atos, sehingga akan butuh waktu sedikit lebih lama untuk menggalinya. Di tengah rasa takut akan turut terpapar covid, saya dan Mas Dhani (Bhabinkamtibmas yang Ganteng) memutuskan meluncur ke lokasi penggalian liang kubur untuk memastikan kesiapan perangkat yang diperlukan di lokasi sekaligus memberi dukungan moral kepada beberapa warga yang dengan sukarela meluangkan waktu dan tenaga guna pemakaman jenazah. O ya, ada piweling para sesepuh pendahulu bahwa Mbah Wo (kasun) setempat dari dulu memang dilarang untuk mengantar jenazah sampai ke pemakaman. Ada juga pantangan bagi siapapun yang jadi Lurah di desa kami yaitu tidak boleh menjenguk warganya yang sedang sakit dan tidak boleh ikut jagongan atau ikut nimbrung dengan warga yang sedang membuat ubo rampe alat kelengkapan pemakaman jenazah.   

Menit demi menit berlalu dan jam pun berganti. Waktu beranjak menuju dini hari dan ponsel menunjukkan pukul 3 lebih yang artinya sudah lebih dari 4 jam kami berada di lokasi itu. Setelah liang lahat siap, ambulan jenazah pun datang. Nampak beberapa relawan PMI berpakaian hazmat lengkap mengeluarkan peti dan memikulnya menuju liang lahat. Setelah peti diturunkan, salah satu relawan berteriak "ayo ndang di adzani diikomati"!. Semua tolah-toleh melihat dan mencari siapa yang akan mengadzani si mayit. Mbah Modin yang biasanya bertugas mungkin sudah sangat capek karena padatnya tugas sehingga tidak bisa dihubungi, wal hasil Mas Dhani pun berteriak "ayo mas Rohmad sing ngadzani". Ya sudah, jadilah saya Modin dadakan yang dengan griming-griming sedikit mendekat ke liang lahat untuk mengadzani dan meng-ikomati si mayit. Dulu saat ujian kelas 6 Madrasah Diniyah tingkat Ibtida' sebenarnya juga lulus materi perawatan jenazah mulai memandikan, mengkafani, mensholati sampai menguburkan jenazah, berhubung ndak pernah praktek lagi ya agak canggung juga saat diminta mengadzani mayit.

Itulah sepenggal cerita yang nama saya katanya dicatat sebagai Ketua Satgas Penanganan Covid-19 tingkat desa, walaupun sebenarnya juga tidak benar-benar bekerja sebagai ketua satgas karena memang tugas itu sudah banyak dilakukan oleh Mbah Lurah beserta dengan perangkatnya. Menjadi bagian dari satgas penanganan Covid-19 seringkali memaksa kami untuk berhadap-hadapan langsung dengan warga dan tak jarang juga harus sedikit bersitegang dengan mereka. Mulai dari memberi pemahaman bagaimana tata cara penyelenggaraan kegiatan hajatan di masa pandemi, pelaksanaan kegiatan keagamaan yang memang semua serba dibatasi di masa itu. Dan sekali lagi sering juga juga harus berujung cek-cok, caci maki pun pernah mendarat di muka kami. Tapi ya itu adalah bagian dari resiko tugas.

Kemarin tepatnya Jum'at, 30 Desember 2022 secara resmi Presiden Jokowi mengumumkan pencabutan PPKM sebagai masa transisi dari kondisi pandemi menuju endemi seiring dengan semakin terkendalinya penyebaran corona. Tentu ini kabar baik bagi kita semua. Hajatan, konser musik, pengajian umum dan kegiatan lain yang menimbulkan kerumunan masa bisa kembali ke mode normal. Semoga corona akan terus terkendali, dan yang lebih penting warga tidak perlu repot-repot lagi untuk mencari dan meminta tanda tangan saya untuk perijinan kegiatan hajatan. Bukannya apa-apa, hanya merasa ndak enak saja kalau ndak nyumbang setelah anda meminta tanda tangan dan stempel dari saya. Hahahaha.

Sumber gambar: https://news.detik.com/berita/d-6489729/pernyataan-lengkap-jokowi-resmi-cabut-ppkm



  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANFAAT MANGGIS